KONVERSI MENGGANTUNG, RAKYATLAH YANG BUNTUNG

12 01 2009

Seorang anak kecil ikut mengantri demi mendapatkan 3 liter mitan di daerah Jagalan

Anak kecilpun ikut mengantri.

Kebijakan konversi minyak tanah (mitan) ke gas yang digulirkan oleh pemerintah pusat, sempat ditolak oleh pemkot Surakarta. Setelah mitan makin langka dan harganya makin melambung tinggi, barulah pemkot menyetujui program konversi, malah berharap pelaksanaannya dipercepat.

Siang itu (14/12), puluhan warga terlihat mengantri, atau lebih tepatnya mengular, di depan pangkalan minyak di Jalan Surya, Jagalan, Jebres, Surakarta. Bukan untuk mengantri membeli aneka jajan pasar seperti hari-hari biasa, mereka datang untuk membeli minyak tanah yang semakin langka. Bahkan, antrian ini pun terlihat semakin memanjang, tatkala pasokan minyak dari sebuah mobil tangki pengangkut minyak tanah tiba, sehingga cukup mengganggu arus lalu lintas.

Seperti yang dialami oleh Ibu Kastono, seorang buruh cuci, yang telah mengantri sejak pukul 05.00 pagi demi mendapatkan 2 – 3 liter minyak tanah. “Lha wong gimana lagi, sekarang minyak langka, jadi ya harus antri”, tuturnya. Dirinya juga menambahkan, sebagai buruh cuci yang tinggal di tanah liar milik pemerintah, dia tidak mendapatkan pasokan listrik. Sehingga, ketergantungan terhadap minyak tanah sebagai bahan bakar sangatlah tinggi. “Beberapa waktu yang lalu, anak saya merengek minta dibuatkan mie godok (rebus), tapi karena minyak nggak ada, ya akhirnya saya nggak bisa masak”.

Kelangkaan minyak tanah dan antrian manusia dengan jerikennya yang mengular, telah menjadi pemandangan yang biasa, akhir-akhir ini. Tidak hanya pangkalan minyak di Solo, tetapi hampir di seluruh Indonesia mengalami kelangkaan pasokan minyak tanah. Untuk di Solo sendiri, hanya beberapa titik pangkalan yang masih mampu menyediakan minyak tanah bagi pelanggannya. Akibatnya, banyak warga luar daerah yang berbondong-bondong berburu minyak tanah sampai luar daerah atau kota mereka. Maka tak heran, kini minyak tanah jadi rebutan.

Salah satu penyebab kelangkaan minyak tanah, menurut Kepala Bidang Minyak Tanah DPC Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Surakarta, RM Aryo Putrokusumo, dikarenakan pemangkasan kuota minyak tanah. Pemangkasan yang untuk kesekian kalinya ini, mencapai 580 kiloliter, hingga tinggal 2.080 kiloliter. Sedangkan untuk bulan November, kuota yang disediakan adalah 2.660 kiloliter. “Memang ada pemangkasan kuota, tapi karena sudah kebijakan pusat, ya kami tidak bisa apa-apa. Pengurangan memang akan dilakukan bertahap, tapi memang harus nunggu masyarakat siap (konversi – red)”, tutur Aryo pada Javalistic.

Kelangkaan mitan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia ini, sejatinya, adalah akibat dari konversi minyak tanah ke gas, yang resmi dicanangkan pemerintah pusat pertengahan tahun lalu. Pengalihan kebiasaan masyarakat menggunakan minyak tanah menjadi gas, membuat pemerintah mau tak mau mengurangi pasokan minyak tanah, dengan harapan masyarakat beraklih ke gas.

Seperti yang dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, beberapa waktu lalu pada media cetak terbitan Jakarta, bahwa pengurangan pasokan minyak tanah memang perlu dilakukan untuk menghindari subsidi dobel. Tapi sebisa mungkin dilakukan secara perlahan, karena masyarakat belum siap beralih ke LPG.

Apabila kita menengok ke belakang, disaat kebijakan konversi baru digulirkan, sebenarnya program ini bertujuan mulia, yaitu untuk menghemat anggaran negara. Tujuan mulia ini lebih spesifiknya dapat diartikan sebagai penghematan subsidi minyak tanah. Subsidi minyak tanah per tahun hampir menyentuh angka Rp 36 triliun. Dengan pengalihan ini, anggaran subsidi bisa dikurangi Rp 23 triliun. Sebab, nilai subsidi satu kilogram LPG (setara dengan 1,7 liter minyak tanah) lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah.

Namun demikian, maksud baik pemerintah pusat untuk mengalihkan budaya penggunaan mitan ke gas, tidak mendapat dukungan dari beberapa daerah, salah satunya adalah Solo. Pemkot Solo dan beberapa pemimpin kabupaten wilayah Solo Raya, sempat menangguhkan kebijakan pusat agar daerah melaksanakan konversi, dengan alasan persiapan program ini yang sangat kurang.

Sikap apatis pemkot Solo dan beberapa pemda sebenarnya cukup beralasan. Sosialisasi yang minim, pendataan yang kurang akurat, proses pendistribusian dan pengurangan jatah minyak yang kontroversial, dan budaya masyarakat yang menjadikan mitan sebagai bagian kebutuhan hidup selama puluhan tahun, menjadikan program konversi mitan ke LPG dirasa sangat dipaksakan.

rudyanto

FX Hadi Rudyatmo, Wakil Wali Kota Surakarta

“Menurut saya, program konversi ini persiapannya belum maksimal. Mestinya ada payung hukumnya. Kalau dulu sosialisasi langsung diserahkan pada pemkot, saya pikir akan clear”, tutur Wakil Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo kepada Javalistic, (20/12).

Di sisi lain, kualitas tabung dan kompor gas juga banyak mendapat sorotan. Jusuf Kalla mengakui, sekitar 11% atau sekitar 44.000 tabung dan kompor ditarik karena rawan meledak. Ia meminta Departemen Perindustrian segera menerbitkan SNI (Standar Nasional Industri) tabung dan kompor gas. Menurutnya, fakta di lapangan menunjukkan, hingga kini penyebab kebakaran di perumahan lebih banyak karena kompor minyak tanah. “Jadi, sebetulnya kompor gas jauh lebih nyaman dan aman,” kata Jusuf Kalla pada pimpinan media di rumah dinasnya, akhir tahun 2007.

Pendapat Wapres, pada kenyataannya tidak sejalan dengan pemikiran warga masyarakat, khususnya di Solo. Ditemui saat mengantri minyak di pangkalan minyak tanah di Jalan Surya, Jagalan, beberapa warga mengaku takut jika harus beralih ke LPG karena masalah keamanan.

“Saya takut pakai gas, karena gampang meledak. Lebih aman pakai minyak tanah,” ujar Suwarti (38), seorang pedagang keliling. Dirinya juga menambahkan, harga gas yang mahal per tabungnya, dirasa memberatkan untuk beralih ke LPG tiga kiloan. “ Kalau minyak kan belinya bisa ngecer. Tapi kalau gas, saya ndak sanggup kalau harus beli langsung satu tabung. Pendapatan saya saja ndak seberapa,” keluhnya.

Terlambat

Keputusan pemkot Solo yang akhirnya menyetujui konversi mitan ke gas setelah satu tahun lamanya tanpa kepastian, menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prahastiwi Utari Dewi, Ph.D, dirasa terlambat. “Seharusnya penolakan itu diikuti dengan solusi bagi masyarakat, bukan hanya menolak, lalu baru menyetujui setelah kondisi serba sulit seperti ini”. Menurutnya, Wawali, sebagai pihak yang paling keras menolak program konversi, harus menerapkan teori Difusi Inovasi. Yaitu, menolak dengan memberikan jalan keluar, agar masyarakat tidak serba salah seperti sekarang ini.

Prahastiwi menambahkan, kondisi serba salah yang terjadi saat ini tidak seharusnya terjadi, jika kerja sama dan saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjalin dengan baik. “Disaat cadangan BBM yang semakin menipis, konversi dirasa perlu. Selain menghemat BBM, juga untuk menghemat anggaran”. Dirinya menambahkan, idealnya, penggunaan LPG memang sudah harus diberlakukan. Sebagai contoh adalah Australia. Disana semua warganya telah menggunakan LPG. “Masyarakat Indonesia terbuai dengan subsidi minyak tanah, yang selama puluhan tahun diberikan pemerintah, hingga enggan berlih ke LPG. Ini sangat tidak mendidik,” tuturnya pada Javalistic, saat dihubungi Minggu (14/12).

Selain itu, pengajar yang juga ketua jurusan Ilmu Komunikasi UNS ini mengemukakan, sosialisasi dan pendataan bagi masyarakat juga tidak jelas. ”Pelaksanaan, pendataan dan sosialisasi konversi harus dilakukan benar-benar dari bawah atau bottom-up. Saat ini, konversi seperti dipaksakan dari atas, tanpa memperhatikan kendala yang dihadapi di bawah. Akibatnya, banyak terjadi gejolak, dan distribusi tidak tepat sasaran”. Prahastiwi menyarankan, pendataan dan sosialisasi dengan sistem botto-up bisa dimulai dari tingkatan terkecil, yaitu ketua RT. Ketua RT lah yang berhak menentukan mana yang berhak menerima bantuan tabung dan kompor gas. Selain itu, peran warga RT yang merupakan satuan kelompok terkecil di masyarakat dalam hal sosialisasi, harus lebih dikedepankan. Hal ini perlu dilakukan, agar masyarakat mengerti benar tujuan, proses, tata cara, dan validasi dari konversi, sehingga permasalahan yang timbul dapat ditekan.

Inkonsistensi pemkot Solo, setelah kondisi terjepit, yang diawali dengan penangguhan terhadap program konversi, yang pada akhirnya berganti dengan persetujuan, membuat masyarakat kota Solo lah yang terkena imbasnya. Minyak tanah yang semakin langka dengan harga yang sangat tinggi, tidak diimbangi dengan dukungan terhadap pelaksanaan program konversi. Masyarakat jadi serba salah. Mau beli minyak, harga mahal dan langka, ingin pakai gas, sulit dicari karena konversi belum disetujui. Andai saja pada saat program konversi ditetapkan, pemkot Solo mendukung program pemerintah pusat, tentu cerita kelangkaan mitan dan derita masyarakat akibat kelangkaan tidak akan terjadi. Dukungan tersebut dapat dilakukan dengan membantu sosialisasi, validasi data, meyakinkan masyarakat, dan memberikan program yang memudahkan dalam membeli gas, seperti sistem kredit misalnya. Semoga, penolakan konversi oleh pemkot waktu itu, benar-benar karena suara rakyat. Bukan karena kepentingan politis semata. Semoga.

(By Anastasia Nindhitasari R.S (D0205002),  Herald Galingga (D0205080),  Paramita Putri L (D0205106), &  Rorie Asyari (D0205120))


Actions

Information