KONVERSI MENGGANTUNG, RAKYATLAH YANG BUNTUNG

12 01 2009

Seorang anak kecil ikut mengantri demi mendapatkan 3 liter mitan di daerah Jagalan

Anak kecilpun ikut mengantri.

Kebijakan konversi minyak tanah (mitan) ke gas yang digulirkan oleh pemerintah pusat, sempat ditolak oleh pemkot Surakarta. Setelah mitan makin langka dan harganya makin melambung tinggi, barulah pemkot menyetujui program konversi, malah berharap pelaksanaannya dipercepat.

Siang itu (14/12), puluhan warga terlihat mengantri, atau lebih tepatnya mengular, di depan pangkalan minyak di Jalan Surya, Jagalan, Jebres, Surakarta. Bukan untuk mengantri membeli aneka jajan pasar seperti hari-hari biasa, mereka datang untuk membeli minyak tanah yang semakin langka. Bahkan, antrian ini pun terlihat semakin memanjang, tatkala pasokan minyak dari sebuah mobil tangki pengangkut minyak tanah tiba, sehingga cukup mengganggu arus lalu lintas.

Seperti yang dialami oleh Ibu Kastono, seorang buruh cuci, yang telah mengantri sejak pukul 05.00 pagi demi mendapatkan 2 – 3 liter minyak tanah. “Lha wong gimana lagi, sekarang minyak langka, jadi ya harus antri”, tuturnya. Dirinya juga menambahkan, sebagai buruh cuci yang tinggal di tanah liar milik pemerintah, dia tidak mendapatkan pasokan listrik. Sehingga, ketergantungan terhadap minyak tanah sebagai bahan bakar sangatlah tinggi. “Beberapa waktu yang lalu, anak saya merengek minta dibuatkan mie godok (rebus), tapi karena minyak nggak ada, ya akhirnya saya nggak bisa masak”.

Kelangkaan minyak tanah dan antrian manusia dengan jerikennya yang mengular, telah menjadi pemandangan yang biasa, akhir-akhir ini. Tidak hanya pangkalan minyak di Solo, tetapi hampir di seluruh Indonesia mengalami kelangkaan pasokan minyak tanah. Untuk di Solo sendiri, hanya beberapa titik pangkalan yang masih mampu menyediakan minyak tanah bagi pelanggannya. Akibatnya, banyak warga luar daerah yang berbondong-bondong berburu minyak tanah sampai luar daerah atau kota mereka. Maka tak heran, kini minyak tanah jadi rebutan.

Salah satu penyebab kelangkaan minyak tanah, menurut Kepala Bidang Minyak Tanah DPC Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Surakarta, RM Aryo Putrokusumo, dikarenakan pemangkasan kuota minyak tanah. Pemangkasan yang untuk kesekian kalinya ini, mencapai 580 kiloliter, hingga tinggal 2.080 kiloliter. Sedangkan untuk bulan November, kuota yang disediakan adalah 2.660 kiloliter. “Memang ada pemangkasan kuota, tapi karena sudah kebijakan pusat, ya kami tidak bisa apa-apa. Pengurangan memang akan dilakukan bertahap, tapi memang harus nunggu masyarakat siap (konversi – red)”, tutur Aryo pada Javalistic.

Kelangkaan mitan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia ini, sejatinya, adalah akibat dari konversi minyak tanah ke gas, yang resmi dicanangkan pemerintah pusat pertengahan tahun lalu. Pengalihan kebiasaan masyarakat menggunakan minyak tanah menjadi gas, membuat pemerintah mau tak mau mengurangi pasokan minyak tanah, dengan harapan masyarakat beraklih ke gas.

Seperti yang dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, beberapa waktu lalu pada media cetak terbitan Jakarta, bahwa pengurangan pasokan minyak tanah memang perlu dilakukan untuk menghindari subsidi dobel. Tapi sebisa mungkin dilakukan secara perlahan, karena masyarakat belum siap beralih ke LPG.

Apabila kita menengok ke belakang, disaat kebijakan konversi baru digulirkan, sebenarnya program ini bertujuan mulia, yaitu untuk menghemat anggaran negara. Tujuan mulia ini lebih spesifiknya dapat diartikan sebagai penghematan subsidi minyak tanah. Subsidi minyak tanah per tahun hampir menyentuh angka Rp 36 triliun. Dengan pengalihan ini, anggaran subsidi bisa dikurangi Rp 23 triliun. Sebab, nilai subsidi satu kilogram LPG (setara dengan 1,7 liter minyak tanah) lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah.

Namun demikian, maksud baik pemerintah pusat untuk mengalihkan budaya penggunaan mitan ke gas, tidak mendapat dukungan dari beberapa daerah, salah satunya adalah Solo. Pemkot Solo dan beberapa pemimpin kabupaten wilayah Solo Raya, sempat menangguhkan kebijakan pusat agar daerah melaksanakan konversi, dengan alasan persiapan program ini yang sangat kurang.

Sikap apatis pemkot Solo dan beberapa pemda sebenarnya cukup beralasan. Sosialisasi yang minim, pendataan yang kurang akurat, proses pendistribusian dan pengurangan jatah minyak yang kontroversial, dan budaya masyarakat yang menjadikan mitan sebagai bagian kebutuhan hidup selama puluhan tahun, menjadikan program konversi mitan ke LPG dirasa sangat dipaksakan.

rudyanto

FX Hadi Rudyatmo, Wakil Wali Kota Surakarta

“Menurut saya, program konversi ini persiapannya belum maksimal. Mestinya ada payung hukumnya. Kalau dulu sosialisasi langsung diserahkan pada pemkot, saya pikir akan clear”, tutur Wakil Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo kepada Javalistic, (20/12).

Di sisi lain, kualitas tabung dan kompor gas juga banyak mendapat sorotan. Jusuf Kalla mengakui, sekitar 11% atau sekitar 44.000 tabung dan kompor ditarik karena rawan meledak. Ia meminta Departemen Perindustrian segera menerbitkan SNI (Standar Nasional Industri) tabung dan kompor gas. Menurutnya, fakta di lapangan menunjukkan, hingga kini penyebab kebakaran di perumahan lebih banyak karena kompor minyak tanah. “Jadi, sebetulnya kompor gas jauh lebih nyaman dan aman,” kata Jusuf Kalla pada pimpinan media di rumah dinasnya, akhir tahun 2007.

Pendapat Wapres, pada kenyataannya tidak sejalan dengan pemikiran warga masyarakat, khususnya di Solo. Ditemui saat mengantri minyak di pangkalan minyak tanah di Jalan Surya, Jagalan, beberapa warga mengaku takut jika harus beralih ke LPG karena masalah keamanan.

“Saya takut pakai gas, karena gampang meledak. Lebih aman pakai minyak tanah,” ujar Suwarti (38), seorang pedagang keliling. Dirinya juga menambahkan, harga gas yang mahal per tabungnya, dirasa memberatkan untuk beralih ke LPG tiga kiloan. “ Kalau minyak kan belinya bisa ngecer. Tapi kalau gas, saya ndak sanggup kalau harus beli langsung satu tabung. Pendapatan saya saja ndak seberapa,” keluhnya.

Terlambat

Keputusan pemkot Solo yang akhirnya menyetujui konversi mitan ke gas setelah satu tahun lamanya tanpa kepastian, menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prahastiwi Utari Dewi, Ph.D, dirasa terlambat. “Seharusnya penolakan itu diikuti dengan solusi bagi masyarakat, bukan hanya menolak, lalu baru menyetujui setelah kondisi serba sulit seperti ini”. Menurutnya, Wawali, sebagai pihak yang paling keras menolak program konversi, harus menerapkan teori Difusi Inovasi. Yaitu, menolak dengan memberikan jalan keluar, agar masyarakat tidak serba salah seperti sekarang ini.

Prahastiwi menambahkan, kondisi serba salah yang terjadi saat ini tidak seharusnya terjadi, jika kerja sama dan saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjalin dengan baik. “Disaat cadangan BBM yang semakin menipis, konversi dirasa perlu. Selain menghemat BBM, juga untuk menghemat anggaran”. Dirinya menambahkan, idealnya, penggunaan LPG memang sudah harus diberlakukan. Sebagai contoh adalah Australia. Disana semua warganya telah menggunakan LPG. “Masyarakat Indonesia terbuai dengan subsidi minyak tanah, yang selama puluhan tahun diberikan pemerintah, hingga enggan berlih ke LPG. Ini sangat tidak mendidik,” tuturnya pada Javalistic, saat dihubungi Minggu (14/12).

Selain itu, pengajar yang juga ketua jurusan Ilmu Komunikasi UNS ini mengemukakan, sosialisasi dan pendataan bagi masyarakat juga tidak jelas. ”Pelaksanaan, pendataan dan sosialisasi konversi harus dilakukan benar-benar dari bawah atau bottom-up. Saat ini, konversi seperti dipaksakan dari atas, tanpa memperhatikan kendala yang dihadapi di bawah. Akibatnya, banyak terjadi gejolak, dan distribusi tidak tepat sasaran”. Prahastiwi menyarankan, pendataan dan sosialisasi dengan sistem botto-up bisa dimulai dari tingkatan terkecil, yaitu ketua RT. Ketua RT lah yang berhak menentukan mana yang berhak menerima bantuan tabung dan kompor gas. Selain itu, peran warga RT yang merupakan satuan kelompok terkecil di masyarakat dalam hal sosialisasi, harus lebih dikedepankan. Hal ini perlu dilakukan, agar masyarakat mengerti benar tujuan, proses, tata cara, dan validasi dari konversi, sehingga permasalahan yang timbul dapat ditekan.

Inkonsistensi pemkot Solo, setelah kondisi terjepit, yang diawali dengan penangguhan terhadap program konversi, yang pada akhirnya berganti dengan persetujuan, membuat masyarakat kota Solo lah yang terkena imbasnya. Minyak tanah yang semakin langka dengan harga yang sangat tinggi, tidak diimbangi dengan dukungan terhadap pelaksanaan program konversi. Masyarakat jadi serba salah. Mau beli minyak, harga mahal dan langka, ingin pakai gas, sulit dicari karena konversi belum disetujui. Andai saja pada saat program konversi ditetapkan, pemkot Solo mendukung program pemerintah pusat, tentu cerita kelangkaan mitan dan derita masyarakat akibat kelangkaan tidak akan terjadi. Dukungan tersebut dapat dilakukan dengan membantu sosialisasi, validasi data, meyakinkan masyarakat, dan memberikan program yang memudahkan dalam membeli gas, seperti sistem kredit misalnya. Semoga, penolakan konversi oleh pemkot waktu itu, benar-benar karena suara rakyat. Bukan karena kepentingan politis semata. Semoga.

(By Anastasia Nindhitasari R.S (D0205002),  Herald Galingga (D0205080),  Paramita Putri L (D0205106), &  Rorie Asyari (D0205120))





Perjuangan Demi satu liter Minyak Tanah

12 01 2009

Fajar baru saja mengintip di ufuk timur, seperti biasanya Kusriah harus bersiap mengawali harinya. Namun tidak seperti hari-hari biasanya, kali ini Kusriah harus bersiap untuk mengantri minyak di sebuah pangkalan minyak yang jaraknya lumayan jauh dari kediamannya di Kentingan Surakarta. Sudah sejak dua bulan terakhir minyak tanah langka di pasaran, hal inilah yang memaksa Kusriah dan puluhan ibu-ibu serta bapak-bapak lainnya mengantri berjam-jam hanya untuk mendapatkan dua atau tiga liter minyak tanah yang akan digunakan untuk berbagai kebutuhan rumah tangga demi menyambung hidup.

Bukan menjadi perkara yang mudah mengantri minyak tanah, sebuah perjuangan yang menguras tenaga dan perasaan harus dijalani para konsumen minyak tanah tersebut. Bayangkan, Kusriah dan yang lainnya harus rela meninggalkan pekerjaan mereka demi mengantri minyak tanah. Bila di pagi hari mereka bisa melakukan pekerjaan rumah, mengurus anak-anak lalu pergi bekerja, belakangan ini mereka harus mulai mengantri minyak tanah mulai pukul 3 pagi. Betapa banyak waktu mereka yang terbuang percuma hanya untuk mengantri minyak tanah.

Kusriah adalah seorang buruh cuci yang tinggal di lahan ilegal milik pemerintah, selain mencuci ia juga berjualan makanan untuk mahasiswa-mahasiswa yang kos di dekat rumahnya. Bersama suami yang hanya bekerja sebagai tukang tambal ban, Kusriah menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Kebutuhan Kusriah dan keluarga akan minyak tanah cukup besar, selain untuk memasak makanan untuk berjualan dan makanan untuk keluarganya, minyak tanah juga digunakan untuk bahan bakar teplok (lampu minyak) karena rumahnya tidak bisa menggunakan fasilitas listrik karena berada di lahan sengketa. Sejak harus mengantri minyak di pagi hari, tugas mencuci diserahkan pada suaminya, berjualan nasi pun terganggu gara-gara minyak tanah yang keberadaanya makin langka dan susah dicari.

Kusriah rela meninggalkan pekerjaan rumahnya begitu pula dengan warga lain yang mengantri.

Kusriah, buruh cuci korban konversi

Kusriah rela meninggalkan pekerjaan rumahnya begitu pula dengan warga lain yang mengantri.Kusriah rela meninggalkan pekerjaan rumahnya begitu pula dengan warga lain yang mengantri.Kusriah rela meninggalkan pekerjaan rumahnya begitu pula dengan warga lain yang mengantri.Sebuah pangkalan minyak di daerah Jagalan Surakarta menjadi langganan Kusriah untuk membeli minyak tanah. Di sana telah banyak orang yang mengantri minyak tanah. Meski kebanyakan kaum ibu, namun orang tua bahkan anak-anak ikut ambil bagian dalam antrian panjang yang mengekor dari ujung pangkalan hingga lima meter kebelakang. Nampak barisan panjang jerigen plastik warna-warni tertata rapi di sepanjang antrian tersebut. Mereka mengantri sambil berbincang-bincang sembari menunggu pasokan minyak tanah yang datangnya baru sekitar jam 11 siang. Topik pembicaraan pun tak jauh dari betapa sulit dan kesalnya mereka mendapatkan minyak tanah.

“Kemarin saya nggak dapat minyak tanah, anak-anak nangis minta mie rebus saja saya nggak bisa masakin, akhirnya cuma saya kasih air sumur yang nggak saya masak aja…kasihan mereka…” cerita Kusriah pada seorang ibu yang ia temui disana. Si ibu tak mau kalah lantas bercerita juga “ Walah..tetangga saya yang jualan donat malah jadi pengangguran, lha wong gak bisa nggoreng donat, nggak ada minyak sih..” katanya dengan nada sedih. Seorang bapak berambut botak lantas menyahut pembicaraan mereka “Dulu itu nggak kaya gini ya..minyak itu stabil di pasaran, beli minyak saja kok repotnya kaya gini..kita rakyat miskin selalu sengsara dari dulu..”

Warga yang mengantri dipangkalan tersebut tidak hanya berasal dari daerah sekitar Jagalan seperti Kepatihan, Pasar Kliwon, Kampung Sewu, Jebres, namun ada yang dari Gentan, sebuah daerah yang jaraknya 8 kilometer dari Kelurahan Jagalan. “Dulu waktu minyak tanah mulai langka, masih banyak penjual eceran yang berjualan. Ya walau harganya mahalan seribu rupiah..tapi sekarang sudah nggak ada…jadi terpaksa kita harus beli di pangkalan minyak..” kata seorang ibu asal Pasar Kliwon. Pasokan minyak tanah di pangkalan ini dirasakan kurang untuk sekitar 50-an KK yang masih menggunakan minyak tanah di daerah Jagalan, belum lagi bila warga dari daerah lain ikut mengantri disini.

Tak setiap kali mengantri warga lantas mendapatkan minyak tanah seperti apa yang mereka perjuangakan. Tak jarang mereka harus menelan pil pahit ketika tidak mendapatkan minyak tanah setelah seharian mengantri. Atau dari tiga liter kebutuhan minyak tanah mereka dalam sehari, pihak pangkalan minyak hanya mau menjual satu liter untuk satu jerigen. Antrian pembeli minyak tanah di beberapa pangkalan di Surakarta dan daerah sekitar makin lama makin banyak terlihat. Bahkan pemandangan seperti itu sudah jamak terjadi dimana-mana. Warga masyarakat pun lama-kelamaan menjadi “terbiasa” dengan keadaan tersebut. Mereka sudah jenuh “mengadu” pada Pemerintah, karena mau tak mau mereka harus mengantri minyak tanah, atau mereka tidak akan mendapatkannya.

Sebenarnya pemerintah tidak lantas tinggal diam dengan keadaan ini. Pemerintah menawarkan solusi berupa kebijakan Konversi minyak ke gas elpiji. Bahkan Pemerintah telah melakukan upaya-upaya seperti memberikan kompor dan gas elpiji 3 kg gratis bagi masyarakat agar mereka tidak bergantung pada minyak tanah. Namun upaya tersebut tidak mendapatkan sambutan positif dari warga masyarakat. Kurangnya sosialisasi dan banyaknya media yang mengekspos kelemahan gas elpiji 3 kg, membuat warga masyarakat enggan beralih menggunakan gas tersebut.

Walaupun Pemerintah Surakarta sendiri belum siap melaksanakan program pemerintah pusat tersebut, namun banyak warga setempat yang beranggapan bahwa meggunakan gas elpiji teralu berbahaya dan mahal. Termasuk warga yang mengantri di pangkalan tersebut. Walau mereka sangat kesulitan dan lelah untuk selalu mengantri demi mendapatkan seliter minyak tanah, namun warga tetap enggan beralih ke gas elpiji. “ Kan banyak tu di tivi-tivi, tabung gas yang mledak, ya kami takut lah..” kata seorang Ibu bernama Rini. “Lagian, kita kan kalo beli minyak bisa ngirit, nyicil dikit-dikit per hari, lha kalo gas kan mahal, harus beli kiloan, nggak ada duitnya mbak..”

Harapan warga kecil seperti Kusriah dan lainnya sebenarnya tidak muluk-muluk. Mereka hanya menginginkan minyak tanah bisa stabil di pasaran, baik dari segi harga maupun kesediaannya. Tak perlu banyak program yang membuat mereka bingung dan tak terbiasa. Mereka sudah terlalu dipusingkan dengan masalah ekonomi yang menghimpit dalam keseharian mereka. Bila warga masyarakat tak perlu mengantri lagi demi mendapatkan minyak tanah, sama seperti dulu kala, mereka tentunya dapat kembali bekerja untuk menyambung hidup. Walau zaman semakin susah, krisis moneter semakin mencekik, tapi setidaknya untuk kebutuhan primer seperti minyak tanah, mereka tak perlu bersusah payah mendapatkannya. Karena hidup adalah perjuangan, bukan hanya untuk berjuang mendapatkan satu liter minyak tanah saja.

(By R. Prima Pribadi (D0205110)  & Fitria Asih K (D0205074))





Terus Bertahan Hidup dari Pesanan Kompor Minyak

12 01 2009

Semanggi, sebuah kampung yang terletak di Kecamatan Pasar Kliwon, bagian selatan Kota Solo ini tampak sepi dari aktivitas warganya. Ya, sejak Pemerintah Kota Solo menetapkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas di Kota Bengawan, otomatis roda ekonomi warga Semanggi pun terancam macet. Maklum, sebagai sentra peralatan dapur, sebagian besar warga Kampung Semanggi bermatapencaharian sebagai pengrajin dandang maupun kompor. Di Kampung Semanggi ada lebih kurang lima belas orang yang menekuni usaha kerajinan peralatan dapur, namun sejak ada program konversi minyak tanah ke gas tak sedikit para pengrajin yang gulung tikar. Hingga kini pengrajin yang tetap bertahan tinggal enam orang, salah seorang diantaranya adalah Agus Wahyudi.

perajin-kompor

Yudi, pengrajin kompor minyak

Pria asli Solo yang akrab dipanggil Yudi ini mengaku telah menekuni usaha pembuatan kompor minyak tanah sejak 35 tahun silam secara turun temurun. Meskipun minyak tanah tergolong langka di Kota Solo, namun tetap saja ada pesanan kompor minyak tanah walaupun jumlahnya tak seberapa. “Ya, yang datang pesan paling satu-dua orang. Itu pun tidak ajeg (tetap) setiap harinya.” ujar pria 55 tahun ini. Selain melayani pemesanan kompor yang berkurang dari hari ke hari, bapak tiga putra ini terus berusaha bertahan hidup dengan membuat alat pembakar sate. Namun dilihat dari segi keuntungan, tentu saja keuntungan dari penjualan alat pembakar sate sangat kecil dibanding dari hasil penjualan kompor minyak tanah.

Sebelum ada kebijakan konversi di Kota Solo, Yudi bersama kedelapan karyawannya mampu menghasilkan rata-rata enam kompor minyak tanah per harinya. Kualitas kompor buatan Yudi pun tak perlu diragukan lagi, untuk pembuatan rangka kompor dipilih material besi, sebab lebih tebal dan lebih kuat bahkan ada jaminan anti meledak, “Ya, sebab sebelum dipasarkan saya turun tangan mengecek tangki minyaknya. Kalo ada yang kurang beres, ya, dibenahi dulu. Jadi kompor buatan sini pasti aman dan anti meledak.” Para pembeli juga tidak kecewa dengan kompor hasil home industry ini, “Apinya itu bisa biru jadi kalo masak cepet mateng, trus pancinya juga nggak gosong. Kalo kompor yang buatan laennya kan nggak sebaik kompor sini.” Ujar Nani (42) pembeli kompor minyak tanah Yudi yang bekerja sebagai penjual gorengan.

Yudi membuat kompor dengan berbagai ukuran, mulai yang bersumbu 16 cm, 22 cm, 24 cm, 36 cm, dan yang paling besar bersumbu 40 cm. Ditilik dari segi kekuatan, kompor yang bersumbu 24 cm mampu menahan beban hingga 70 kilogram. Harga kompor juga bisa dibilang relatif terjangkau, untuk satu buah kompor bersumbu 16 cm, pembeli yang membeli dalam jumlah besar dibandrol dengan harga Rp 100.000, sedangkan pembeli eceran harus mengeluarkan kocek sedikit lebih mahal, yaitu sebesar Rp 115.000 untuk satu buah kompor dengan ukuran yang sama. Harga tersebut sebanding dengan keawetan kompor yang rata-rata mampu bertahan hingga 15 tahun. Tak heran jika pembeli kompor buatan Yudi datang dari berbagai daerah bahkan luar Pulau Jawa seperti Jambi. Koperasi ISI Solo, Koperasi PT. Kusuma Hadi dan PT. Batik Keris masuk jajaran pelanggan tetap kompor buatan Yudi.

Namun, berkaca dengan kondisi saat ini, entah sampai kapan Yudi mampu bertahan. Tentulah mudah dipahami, sejak pengurangan jatah minyak tanah untuk masyarakat praktis pemesanan kompor juga menyusut. Saat ini, Yudi hanya mampu mempekerjakan satu orang karyawan saja, yang mana karyawan tersebut adalah adiknya sendiri, bahkan beberapa waktu lalu usahanya sempat mandeg dua minggu akibat tidak adanya pesanan kompor. Belum lagi dari keenam pengrajin kompor minyak yang masih tersisa di kampung Semanggi ini rata-rata memproduksi kompor minyak dengan kualitas standar, untuk satu buahnya dijual dengan harga sekitar Rp 20.000, jauh di bawah harga kompor buatan Yudi. Jika dilihat dari biaya produksi pembuatan kompor, tentu kompor buatan Yudi yang memakan biaya yang paling mahal dan cukup memberatkan jika tetap harus membuat kompor namun tidak jelas apakah akan ada yang membeli kompor minyak buatannya.

Bulan ini, Pemerintah Kota Solo secara resmi mengesahkan program konversi minyak tanah ke gas. Meskipun demikian Yudi dan pengrajin dandang kompor yang tergabung dalam Kopersai Usaha Dandang Kompor Semanggi (KUDKS) bersikukuh menolak didata sebagai penerima kompor gas dan tabung gas elpiji. Alasannya, program konversi minyak tanah ke gas dianggap telah “membunuh” usaha mereka, karena terkesan adanya pemaksaan untuk beralih ke gas dengan cara mengurangi jumlah pasokan minyak tanah. Sebagai jalan tengah, KUDKS melalui FX. Hartoyo, selaku Ketua KUDKS, meminta bantuan modal dari pemerintah Kota Solo dan Pertamina untuk memberikan bantuan modal guna pengalihan bentuk usaha, dari pembuatan kompor minyak tanah ke penutup (casing) kompor gas. Namun sampai saat ini belum ada tanggapan dari pihak-pihak terkait.

Entah sampai kapan Yudi dan pengrajin lainnya mampu bertahan hidup dari pesanan kompor minyak tanah dan mungkin “gelar” kampung Semanggi sebagai sentra industri peralatan dapur, seperti dandang kompor dan kompor minyak tanah, pun harus berakhir disini.

(By Jati Sulaiman (D0205084) & Ratna Permata Sari (D0205114))





JAVALISTIC telah lahir

14 09 2008

Selamat kepada (javalicous) Group yang telah meluncurkan media berita dan informasi online dengan nama JAVALISTIC.

Dengan peluncuran pusat informasi online ini diharapakan semua orang dapat mengakses berbagai berita dan informasi mengenai berbagai hal seputar Solo dan Yogyakarta.

Semoga sukses dan selalu jujur dalam menyampaikan fakta..

Sekali lagi selamat kepada (javalicious) Group